Abstract

Filsafat bukanlah seperti yang selama ini dipahami dan dimengerti. Ia bukanlah satu disiplin berpikir, apalagi asketisme bernalar, yang kedap-politis. Nyatanya, filsafat lahir dari silang-sengkarut politis antar-filsafat dalam momen dan ruang historis yang terus berubah. Filsafat sang pemenang (philosophy of the dominator) akan mengangkangi dan menjajah filsafat sang kalah (philosophy of the dominated). Kajian politis atas filsafat-filsafat dunia masih terbilang jarang, untuk tidak mengatakan belum pernah ada. Termasuk kajian yang jarang tersebut adalah kajian yang ditulis Enrique Dussel (lahir 1934). Dalam buku The Philosophy of Liberation (2003), Dussel memperkenalkan kajian Politik Filsafat-kajian tentang tangan-tangan penjajah yang bermain di dalam proses produksi suatu tradisi filosofis. Fokus utama kajiannya memang Filsafat Barat Modern (the Modern Western Philosophy); meskipun demikian, pendekatan yang digunakan dalam bukunya itu ternyata dapat pula diterapkan pada gejala dan fenomena filosofis di negeri-negeri lain, hatta fenomena filosofis yang terjadi di negeri kita sendiri. Makalah ini bermaksud menyingkap penjajahan politis yang dilakukan Filsafat Barat Modern (the Modern Philosophy) terhadap tradisi filsafat sejagad, penjajahan politis yang dijalankan Filsafat Barat Modern terhadap Filsafat Asia Tenggara (the Southeast Asian Philosophy), serta penjajahan politis yang dijalankan Negara terhadap tradisi Filsafat Indonesia, berpijak pada kajian Philosophy of Liberation yang ditulis oleh Enrique Dussel tersebut.