Theory and analysis of semantics of Indonesian language.

Hasil riset yang penulis sajikan dalam buku ini, hendak membahas tentang makna hidup, faktor-faktor yang mempengaruhi dan dinamika psikologis makna hidup orang Jawa yang memahami dan mengamalkan falsafah hidup ajaran Dewa Ruci. Lakon Dewa Ruci berisi tentang kisah Arya Bima yang mencari tirta perwita sari atau air kehidupan untuk mencapai kehidupan yang bermakna. Berbekal pendekatan fenomenologis, pembaca akan menemui perspektif yang unik sekaligus mendalam pada setiap bagiannya.

Short description: Part A : Philosophy, Literature, and Knowledge – Chapter I : Idealism and the Absolute – A. J. B. Hampton: “Herzen schlagen und doch bleibet die Rede zurück?” Philosophy, poetry, and Hölderlin’s development of language suffi cient to the Absolute – P. Sabot: L’absolu au miroir de la littérature. Versions de l’Hégélianisme’ chez Villiers de l’Isle Adam et chez Mallarmé – P. Gordon: Nietzsche’s Critique of the Kantian Absolute – Chapter II: Philosophy and Style – J.-P. Larthomas: Le (...) cas Kierkegaard (1813-1855) ou l’écriture comme dialectique de l’écoute – S. Hüsch: Style et signifi cation. Intériorité et communication indirecte chez Søren Kierkegaard – A. Milon: La question du style en philosophie: la grammaire non-style – C. Van Lerberghe: La question du style dans la phénoménologie asubjective de Jan Patocka – Chapter III: Poetry and Philosophy – J.-B. Dussert: Martin Heidegger en ses poèmes – C. de Roche: The poem and the monad: On the reception of Leibniz‘ monadology in Paul Celan’s poetics – M. de Jesus Cabral: Entre théâtre et philosophie : notes sur la poétique de Maurice Maeterlinck – Chapter IV : Literature, Philosophy, and (new) Mythology – A. Martinengo: La raison hors de soi. Herméneutique et mythe chez Paul Ricoeur – G. Boggio Marzet Tremoloso: Démythologisation comme acte mythopoïétique: le cas de Jason de Elisabeth Porquerol. – G. Coulter: Jean Baudrillard: The Literary / Poetic Philosopher – Chapter V : Literature and Ethics – J. Azoulai: L’Éthique de Spinoza dans Bouvard et Pécuchet: un vertige philosophique et littéraire – I. Vendrell: Can Literature be Moral Philosophy? A sceptical view on the Ethics of Literary Empathy – F. Picon: Envisager Todorov: Poétique, éthique et humanisme contemporain – Chapter VI : Philosophy and Textuality – E. Lecler: La littérature : la mort de la philosophie – J. A. Gosetti- Ferencei: Writing in Philosophy and the Literature and Philosophy of Writing (Plato, Mann, Blanchot) –W. Cristaudo: Bringing Back Character and Grammar: Freeing Literature from Excessive Reliance on Philosophy and Theory – C. Alfano: Parenthesising Cracks into the Ground of Philosophy: The Textuality of Stanley Cavell’s Philosophical Writing – Part B: Perspectives of a Dialogue between Philosophy and Literature: Philosophical Refl ections in Literary Creation – Chapter VII : Philosophical Dialogue and Literature – A. Baillot: Tieck et Solger, un dialogue philosophicolittéraire – V. Altachina: Le dialogue philosophique chez Diderot et chez Dostoïevski – Chapter XIII : Bergsonien Infl uences in Literature – C. Dewas: Bergson et Katzantzakis. Les limites du langage comme condition d’une métaphysique de la littérature – E. Pesenti Rossi: La philosophie à l’épreuve de la poésie : Bergson et Ungaretti – Chapter IX : Wittgenstein and Literature – G. Valdemarca: La revanche du sens commun : Wittgenstein, Musil et la chute de la certitude – A. Leaker: From the ‘numinous glow’ to ‘gut squalor’: Transcendence and the Ordinary in Wittgenstein and Don DeLillo’s Underworld – A. den Dulk: Wallace and Wittgenstein: Literature as Dialogue Concerning the Real World – Chapter X: Borges and Semprun: Writers and Philosophers – J.-F. Mattéi: Borges et la philosophie – T. Capmartin: Voyage au bout de la représentation dans Fictions: Quelques remarques ménardiennes sur Borges et le stoïcisme – V. Capdevielle- Hounieu: Jorge Semprún et l’hybridation du littéraire et du philosophique : pour une ‘fi ction essayistique’ – Chapter XI : Literary (Mis-) Readings of Philosophy – P. Lasarte: Misreadings of Arthur Schopenhauer in Sin Rumbo by Eugenio Cambaceres – S. Roldan: Qu’est-ce qui est fort comme la mort selon Maupassant? La détermination ultime d’Olivier Vertin vue sous l’angle de Schopenhauer – B. Nickel: L’infl uence de Ludwig Wittgenstein (1889–1951) sur la poésie concrète – Chapter XII: The Impact of Philosophy on 20th Century Literature and Poetry – B. Ertugrul: Walter Benjamin et Ingeborg Bachmann entre littérature et philosophie – J. Leclercq / M. Watthee-Delmotte: Michel Henry : pour un langage de la subjectivité. La pensée du roman Le Fils du roi – J. Hobus: “The happiness of the concentration camps”: Reading Imre Kertész’ Novel Fatelessness with Albert Camus’ Concept of the Absurd – S. Frogel: Man without God: Nietzsche, Kafka and Camus Der Herausgeber Sébastian Hüsch, Studium der Philosophie, Geschichte,. (shrink)

Sugirtharajah, seorang pakar biblika kelahiran Sri Lanka, yang mengajar di Universitas Birmingham, U.K., dan dikenal sebagai godfather penelitian pascakolonial dalam bidang Alkitab, menambahkan suatu karya inovatif lagi pada daftar tulisan-tulisannya yang sudah sangat mengesankan. Perhatiannya untuk suara penafsiran pinggiran sudah diketahui dari karyanya yang paling terkenal, Voices from the Margin (1991). Meskipun Alkitab berasal dari Asia, namun kebanyakan peneliti-an tentang Alkitab dan juga tentang pengaruhnya sepanjang sejarah, terfokus pada Eropa dan Amerika, dengan meminggirkan Asia. Itu mendorong S untuk mengadakan penelitian (...) tentang Alkitab di Asia, khusus-nya sejarah penerimaannya. Ia menyadari bahwa dampak Alkitab terhadap kebudayaan Asia minim bila dibandingkan dengan pengaruhnya atas kehidupan dan kebudayaan di Eropa. Itu menjadi sangat tampak dalam uraiannya tentang peran Alkitab dalam sastra Asia (bab 7) di mana kutipan, tokoh, dan cerita Alkitab jarang muncul, dan bila ada, lebih banyak dipakai sebagai kritik terhadap kolonialisme Barat atau institusi kekristenan.... S mengakhiri tulisannya dengan menegaskan bahwa prinsip sola scriptura, Alkitab saja, tak punya pasar di Asia yang cenderung membaca Alkitab bersama dengan yang lain, Bhagavad Gita, Dhammapada, Analecta (mengapa di sini Alquran tak disebut S?). Hermeneutika Asia yang diselidiki oleh S, menolak kecenderungan kolonial yang ada baik dalam Alkitab sendiri dan lebih lagi dalam interpretasi kekristenan Barat: Kebudayaan dan masyarakat Asia tidak bergantung pada nilai-nilai kristiani untuk pemerintahan dan pengembangan yang baik.... Di Asia Alkitab adalah salah satu di antara banyak teks yang berwenang (hlm. 259). Tugas kita, menurut S, adalah membebaskan Asia dari klaim monopolistis kitab suci tertentu. Tugas ini mendesak di saat para fundamentalis dari semua agama memakai kitab sucinya untuk membenarkan kekerasannya terhadap yang lain. S bahkan mempertanyakan monoteisme yang dapat menekan perbedaan dan mengabaikan kemungkinan pusat-pusat yang banyak (p. 260). Ia tidak menganjurkan untuk kembali kepada penyembahan banyak dewa-dewi tetapi men-dorong kajian terhadap spirit politeistis yang mendorong toleransi, kemurahan hati, dan koeksistensi. Pembaca tentu bertanya: di mana sesungguhnya posisi S di medan diskusi pluralisme dan inklusivisme, berkaitan dengan cara dialog antaraagama, dan ditantang untuk memikirkan posisinya sendiri. S mengakui bahwa banyak hal mengenai Alkitab di Asia masih perlu diselidiki. Lima belas abad pra-kolonial dibicarakan dalam dua halaman saja. Alkitab yang oleh gereja Nestorian tanpa kekuatan apa pun disebarkan ke India, Sumatra, dan China cuma dihormati tetapi tinggal tidak diterjemahkan selama belasan abad; kabarnya hanya diketahui melalui liturgi. Ada pula kesan bahwa Asia dalam karya S terutama Asia Selatan dan Asia Timur. Asia Tengah (bekas bagian-bagian USSR) memang dari awal tidak dimasukkan dalam penelitiannya, tetapi juga Asia Barat Daya dan Asia Tenggara yang multi-agama hampir tidak disentuh. S mungkin tidak mengetahui beberapa penelitian tentang penerimaan Alkitab di Indonesia yang sudah dipublikasikan oleh Lembaga Alkitab Indonesia. Namun demikian, apa yang disajikan sungguh menarik dan penting, serta membuka mata dan jalan bagi penelitian yang lebih luas. (Martin Harun, Guru Besar Ilmu Teologi Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta). (shrink)