Diffusion MRI is widely used to investigate neuronal and structural development of brain. dMRI data is often contaminated with various types of artifacts. Hence, artifact type identification in dMRI volumes is an essential pre-processing step prior to carrying out any further analysis. Manual artifact identification amongst a large pool of dMRI data is a highly labor-intensive task. Previous attempts at automating this process are often limited to a binary classification of the dMRI volumes or focus on detecting a single type (...) of artifact. In this work, we propose a deep learning-based automated multiclass artifact classifier for dMRI volumes. Our proposed framework operates in 2 steps. In the first step, the model predicts labels associated with 3D mutually exclusive collectively exhaustive sub-volumes or “slabs” extracted from whole dMRI volumes. In the second step, through a voting process, the model outputs the artifact class present in the whole volume under investigation. We used two different datasets for training and evaluating our model. Specifically, we utilized 2,494 poor-quality dMRI volumes from the Adolescent Brain Cognitive Development and 4,226 from the Healthy Brain Network dataset. Our results demonstrate accurate multiclass volume-level main artifact type prediction with 96.61 and 97.52% average accuracies on the ABCD and HBN test sets, respectively. Finally, in order to demonstrate the effectiveness of the proposed framework in dMRI pre-processing pipelines, we conducted a proof-of-concept dMRI analysis exploring the relationship between whole-brain fractional anisotropy and participant age, to test whether the use of our model improves the brain-age association. (shrink)

Percy has been studied under several headings: Catholic, Southerner, Existentialist. Two such aspects, however, have been neglected: the strong influence of Charles Sanders Peirce, plus Percy’s deep competence in laboratory science. His typescript essay, “Peirce and Modern Semiotic,” presented here, shows that Percy was well ahead of his contemporaries in understanding the scientific and philosophical importance of Peirce’s Semeiotic, the Theory of Semeioses. Percy particularly pointed to the experiential importance of “taking the other’s meaning.” He regarded that common phenomenon as (...) vital, and genuine—a kind of event that behaviorists such as B. F. Skinner or Charles Morris explained away as nothing but a dynamic dyadic causal process. Percy’s essay definitively blocks those reductions. (shrink)

Medicine is arriving at a new millenium. One of its most urgent tasks is to reconcile social health demands with a renewed medical paradigm capable of including them. This challenge requires a reexamination of the definition of medicine.This work takes up the original greek definition of medicine (Tekhne Iatrike) and the Medical Act according to P. Lain Entrago, and analyzes Heidegger's interpretation of Tekhne. It points out the two main ways in which current medical practice is sustained: the Instrumental (...) Medical Act (IMA), which organizes medical production, and the Productive Medical Act (PMA), which motivates it. (shrink)

Buku berjudul Franz Magnis Suseno: Sosok dan Pemikirannya, berisi tiga belas artikel yang terdiri dari empat artikel mengenai sosok Franz Magnis-Suseno, lima artikel mengenai pemikiran Magnis, dan empat artikel sebagai catatan, ditulis oleh beliau-beliau yang tidak diragukan lagi profesionalisme mereka. Baiklah kini dimulai dengan mengulas dahulu lima pokok pemikiran yang secara singkat dapat disebut secara tematis: 1) tentang Pancasila, 2) tentang Etika Dialog, 3) tentang sosok agama modern, 4) tentang menalar Tuhan dari dunia, 5) tentang pendekatan ilmiah sesuai teori multijagat (...) dan celah kuantum bagi Tuhan. Ternyata urutan pengulasan tidak sesuai dengan urutan dalam buku, agak mengalami perubahan karena pertimbangan tematik yang runtut.... Komaruddin Hidayat menyebut Magnis sebagai pejuang moral dan pembela hak azasi manusia. Bukankah kekuatan agama menjadi sumber moral dan penggerak masyarakat dalam bidang pendidikan, ekonomi dan lingkungan hidup demi timbulnya kelas menengah yang mandiri? Anjurannya sebaiknya ormas-ormas agama mengambil jarak dari per- mainan politik praktis, dan tidak menjadi bagian birokrasi dan politisi Lele yang sangat menikmati kondisi air keruh yang berlumpur. Kami ingat pepatah memancing di air keruh. Salah satu pemakalah F. Budi Hardiman menyebutkan bahwa Magnis tidak menempuh spiritualitas jalan mistik, meskipun mengawali pengalaman hidup intelektual di Indonesia lewat etika Jawa dan mau tidak mau berurusan dengan wayang, tetapi lebih wayang purwa terkait dengan kejawen atau kebatinan. Pada makalah perihal Etika Dialog pula disebutkan oleh Budi Hardiman bahwa di Indonesia ada jalan lain untuk mengupayakan titik temu agama-agama, yaitu jalan mistik. Memang bila dikembalikan pada bentuk bentuk spiritualitas, spiritualitas mistik yang tidak menjadi pilihan, lebih pada spiritualitas religius, kosmik dan humanistik. Ini merupakan catatan pada ulasan Sudiarja. Kini pemakalah pertama yang disebut terakhir ialah Al. Andang L Binawan yang menarik ulasannya perihal riwayat hidup dan panggilan Magnis, dan penting menyebutkan pada usia 11 tahun sudah berniat menjadi Jesuit, meskipun sempat diuraikan dengan simpatik Magnis kurang suka latihan doa panjang-panjang malah lebih suka latihan musik, dan hobby naik gunung hingga sekarang masih tapi sudah berkurang. Ia juga menguasai dua hal yang perlu baginya ialah Marxisme dan Kromo Inggil. Baginya Tuhan adalah kebenaran, keadilan dan kasih. (Toeti Heraty N. Roosseno, Guru Besar Emeritus Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia). (shrink)

Debat tentang pluralisme tetap berlangsung di Indonesia, karena itu dua buku yang akan dibahas di sini sangat relevan. Paul F. Knitter, seorang teolog Katolik, merumuskan suatu pandangan pluralistik mirip dengan yang diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia pada 2005, sedangkan Gavin D’Costa dalam bukunya dengan tajam membongkar “pluralisme” itu. Dua-duanya berargumentasi secara teologis, atas dasar pengandaian-pengandaian Kristiani-Katolik. Dalam bab pertama Knitter menggariskan kembali perjalanan teolo- gisnya dari eksklusivisme, melalui inklusivisme, ke posisi yang dinama- kannya “pluralisme.“ Knitter tidak hanya menolak anggapan (yang (...) oleh Gereja Katolik sudah ditolak sejak sebelum Konsili Vatikan II) bahwa ”di luar Gereja tidak ada keselamatan“ (”eksklusivisme“), melainkan juga posi- si-posisi ”inklusivistik“—seperti yang misalnya dikemukakan oleh Karl Rahner—yaitu bahwa, meskipun semua orang dapat diselamatkan, namun mereka diselamatkan karena Yesus Kristus, jadi bahwa kebenaran penuh hanya ada dalam iman kepada Yesus Sang Juru Selamat bagi semua. Plu- ralisme Knitter menyatakan bahwa tidak ada agama yang dapat meng- klaim keunggulannya terhadap agama lain. Kalau saya tidak salah tangkap, Knitter mengajukan tiga argumen. Yang pertama adalah kejujuran dialog antaragama. ”Bagaimana,” tanya Knitter, “orang dapat sungguh-sungguh ’menghormati’ kebenaran dalam pandangan orang lain... apabila kita masuk ke dalam dialog dengan keyakinan bahwa kita yang mempunyai kebenaran definitif?” (hlm. 33). Argumen yang sama juga diajukan dalam bentuk sedikit lain: Menurut Knitter tidak mungkin seorang tokoh atau suatu ajaran religius tertentu memuat seluruh kekayaan realitas Ilahi. Yesus boleh diyakini sebagai “totus Deus” (seluruhnya Allah), tetapi bukan sebagai “totum Dei” (keseluruhan Allah). Yesus betul-betul penyelamat, tetapi selain Yesus ada banyak penyelamat lain. Argumentasi ini merangsang pertanyaan kembali apakah dialog dapat jujur kalau para peserta sebelumnya harus melepaskan keyakinan mereka yang paling inti? Knitter boleh saja menyangkal bahwa keseluruhan Ilahi ada dalam Yesus, tetapi atas dasar apa ia menuntut agar orang Kristiani menyangkalnya juga? Bukankah Knitter jatuh ke dalam dogmatisme sama dengan yang dituduhkannya?.................................................... D’Costa mengklaim bahwa pengertian keselamatan yang triniter itu menjamin apa yang justru tidak terjamin oleh “pluralisme” ala Knitter; yaitu, keterbukaan, toleransi dan kesamaan. Keterbukaan, karena Gereja dapat dan bahkan harus betul-betul belajar dari agama-agama lain. Tole- ransi, karena Gereja wajib menghormati kebebasan beragama; artinya, ada- lah hak setiap orang dan kelompok orang untuk mengakui dan mempraktikkan agama yang mereka yakini. Kesamaan, karena Gereja mengakui martabat setiap orang sebagai alamat cinta Ilahi. D’Costa mengakhiri bukunya dengan suatu pertimbangan bagus tentang makna dan tempat doa antaragama-agama yang berbeda. Buku D’Costa adalah salah satu bahasan paling jelas, mendalam, dan meyakinkan tentang bagaimana orang Katolik, dan seharusnya semua orang Kristiani, dapat bertemu dengan agama-agama lain tanpa kesombongan, tetapi juga tanpa mengkompromikan imannya. D’Costa membuka dogmatisme deistik-sekularistik (Allah tidak masuk kedalam sejarah umat manusia) dan posisi-posisi yang menamakan diri pluralistik. Adalah kekuatan buku D’Costa bahwa ia memperlihatkan bahwa justru iman pada Allah yang triniter, yang kita ketahui dari pewahyuan Diri Allah dalam Yesus, memungkinkan untuk bersikap hormat dan terbuka kepada agama-agama lain. Daripada menyanyikan lagu bahwa semua agama pada dasarnya sama saja, D’Costa memungkinkan kita untuk tanpa kompromi percaya pada apa yang diyakini Gereja sejak 2000 tahun: bahwa Yesuslah Sang Juru Selamat Ilahi, dan sekaligus menghormati mereka yang berbeda imannya. Itulah dasar mantap bagi dialog antarumat beragama. (Franz Magnis-Suseno, Program Pascasarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta). (shrink)

Hermeneutika adalah ilmu tentang pemahaman. Mengapa pemahaman perlu ada ilmunya? Karena, sebagaimana kita tahu dari pengalaman sehari-hari, kita sering salah paham. Kita mendengar persis apa yang dikatakan orang lain, tetapi kita salah tangkap juga dan terjadi masalah. Hal yang sama berlaku bagi ekspresi-ekspresi manusia lain. Misalnya, ada monumen. Ambil batu-batuan di Stonehenge di Inggris yang diperkirakan sudah berumur ribuan tahun. Tentang maksud tiang-tiang batu itu para ahli tetap masih menerka-nerka. Tetapi seorang penduduk Jakarta, begitu melihat fotonya, langsung merasa (...) tahu apa yang dimaksud oleh orang-orang Inggris kuno itu: Tentu Stonehenge adalah percobaan pertama umat manusia untuk membangun kereta monorail, dan, sama dengan di Jakarta, mereka pun gagal. Mana yang benar? Masalahnya sederhana, tetapi pemecahannya tidak. Yang sederhana: kita semua sudah mempunyai pengertian-pengertian tertentu, misalnya, bahwa tiang batu ke atas merupakan calon tiang kereta mono-rail. Tetapi mereka yang membangunnya di Stonehenge barangkali punya pikiran sama sekali lain. Yang tidak sederhana: bagaimana kita yang sekarang dapat mengerti apa yang dimaksud manusia dengan sebuah monumen, padahal manusia itu sudah lama mati dan tidak dapat ditanyai lagi. Persoalan ini tentu tidak hanya mengenai monumen, melainkan menyangkut bagaimana ungkapan orang lain dapat dipahami sesuai dengan apa yang dia maksud terutama muncul apabila kita membaca sebuah teks. Kita mengira bahwa teks itu sudah jelas maksudnya, tetapi andaikata kita masih bisa bertanya pada penulis apa yang sebenarnya dia maksud dengan menulis teks itu, bisa juga maksudnya berbeda dari pra-anggapan kita.... Buku ini berakhir dengan suatu bab Penutup sepanjang 24 halaman yang merupakan semacam rangkuman. Fokus penutup amat aktual, yaitu masalah literalisme, paham bahwa sebuah teks suci harus dipahami secara harafiah tak boleh ditafsir-tafsir, serta hubungan-nya dengan fundamentalisme, radikalisme, ekstremisme agama, serta mengapa literalisme justru tidak setia terhadap teks yang dikatakan mau diikuti secara harafiah. Buku ini memberikan pengertian yang cukup lengkap, dalam bahasa yang mudah diikuti, kepada filosof pemula, tetapi juga bagi filosof kawakan, buku Budi Hardiman itu bisa sangat membantu. Buku ini terutama sangat penting bagi para teolog, ulama dan ahli Kitab Suci segala agama. (Franz Magnis-Suseno, Guru Besar Ilmu Filsafat Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta). (shrink)

The objective of this work is to establish a relationship between the cutting time in rocks, determining a speed and the point load strength index test, Is, to characterize the rock in terms of resistance and avoid sending samples to laboratories. As a first stage, on andesite samples, 5 x 5 x 10 cm test tubes were made. After the elaboration they were subjected to cutting, using an electric floor cutter and the time was evaluated. This cut was made in (...) a transversal way and two parts were obtained, one of them with dimensions 5 x 5 x 5 cm, approximately. In a third stage, the point load strength test was carried out in a press built for this purpose. Finally, the cutting speeds were correlated with the point load test values and only when rock samples do not pigeonhole on the proposed relationship, send them to the laboratory. Keywords: Mining fortification, uniaxial compressive strength, rock cutting, point load strength test index. References [1]P. Feijoo, R. Aucay, D. Ordoñez, "Aplicación del esclerómetro para la determinación de resistencia a compresión de rocas", presentado en el IV Congreso Internacional de Minería y Metalúrgia, Varadero, Cuba, 2018. [2]P. Feijoo y M. Román, «Correlación entre la Deformación y la Resistencia a la Compresión de rocas», uct, vol. 23, n.º 91, p. 6, may. 2019. [3]P. Feijoo, A. Bravo, N. Escandón, "Aplicación “UDAFORMIN” para la determinación del tipo de fortificación minera", presentado en el XII Congreso Iberoamericano de Computación para el Desarrollo, San Salvador, El Salvador, 2019. [4]P. Feijoo y C. Iñiguez, «Corte en las Rocas y su Relación con la Resistencia a Comprensión Simple», RISTI, n.º E 30, p. 59-67, jun. 2020. [5]P. Feijoo y J. Padrón, «La Resistividad de Rocas y su Relación con la Resistencia a Comprensión Simple en Mina», UCT, vol. 24, n.º 99, pp. 61-67, abr. 2020. [6]M. González. El terreno. Ediciones UPC. Barcelona. España, 2001. [7]E. Besoain. Mineralogía de Suelos. Turrialba: Instituto Interamericano de Ciencias Agrícolas de la OEA, 1970. [8]P. Feijoo, A. Flores, B. Feijoo, "The Concept of the Granulometric Area and Its Relation with the Resistance to the Simple Compression of Rocks", presentado en la 7th International Engineering, Sciences and Technology Conference, Panamá, Panamá, 2019, pp. 52-56, doi: 10.1109/IESTEC46403.2019.00018. [9]F. Blyth. Geología para Ingenieros. Cecsa. México D. F. México, 2003. [10] E. Tarbuck & F. Lutgens. Ciencias de la Tierra: Una introducción a la Geología Física. Pearson. Madrid. España, 2005. [11]L. Suarez del Rio, A. Rodríguez, L. Calleja, V. Ruiz de Argandoña, «El corte de rocas ornamentales con discos diamantados: influencia de los factores propios del sistema de corte», CSIC, vol. 48, n.º 250, pp. 53-59, abr-mayjun 1998. [12]Universidad Politécnica de Madrid. Explotaciones de Roca Ornamental. Diseño de explotaciones y selección de maquinaria y equipos. UPM. Madrid. España, 2007. [13]Catalog, Covington,. LAPIDARY & GLASS MACHINERY, USA. Retrieved from https://covington-engineering.com/content/pdf/Covington-Catalog.pdf. [14]D. Burbano, T. García, «Estimación empírica de la resistencia a compresión simple a partir del ensayo de carga puntual en rocas anisótropas », FIGEMPA, vol.1, n.º 2, pp. 13-16, dic. 2016. [15]P. Ramírez, L. de la Cuadra, R. Lain, E. Grigalbo. Mecánica de rocas aplicada a la minería metálica subterránea. Instituto Geológico Minero. Madrid. España, 1984. [16]P. Cordero, "Manual de prácticas de laboratorio de Mecánica de Rocas " tesis, Universidad Nacional Autónoma de México, México D.F., México, 2019. [17]L. González de Vallejo, M. Ferrer. Manual de campo para la descripción y caracterización de macizos rocosos en afloramientos. Instituto Geológico y Minero de España. Madrid. España, 2007. [18]P. Pohjanpera, T. Wanne, E., Johansson. Point Load Test Results From Olkiluoto Area Borehole Cores. Posiva. Finlandia, 2005. [19]P. Ramírez, L. Alejano. Mecánica de rocas: fundamentos e ingeniería de taludes. Universidad Politécnica de Madrid. Madrid. España, 2004. [20]M. Navarrete, W. Martínez, E. Alonso, C. Lara, A. Bedolla, H. Chávez, D. Delgado, J. Arteaga. «Caracterización de propiedades físico-mecánicas de rocas ígneas utilizadas en obras de infraestructura», ALCONPANT, vol. 3, n.º 2, pp. 133-143, ago. 2013. [21]P. Feijoo, "Manual de mecánica de rocas y estabilidad de túneles y taludes" tesis, Universidad del Azuay, Cuenca, Ecuador, 1997. (shrink)

A Buddhist philosopher on monotheism; text, translation with critical introduction of Nāgārjuna's Īśvarakartṛtva-nirākṛtiḥ-viṣṇoḥ-ekakartṛtva-nirākaraṇa.--History of materialism in India.--Theory of poetry in India.--Scientific achievements of ancient India.--Establishment of the existence of other minds; free translation of Dharmakīrti's Santānāntara-siddhi with Vinītadeva's Santānāntara-siddhi-ṭīkā.

First published in 1912, this book by F. R. Tennant was intended to redress the vague and inconsistent conceptions of sin that were popularly held at the beginning of the twentieth century. Tennant maintained that for any ongoing debate to remain meaningful, it was imperative that definitions of key terms should keep pace with discussion. Therefore his study aimed at providing a clear, logical definition of what sin in Christian doctrine represented, whilst also bringing to bear the importance of ethics (...) and psychology to any modern understanding of the subject. (shrink)

Cet article explore le moment où le thème de la formation professionnelle des femmes, longtemps négligé, s’invite dans le débat public sous la pression d’organisations internationales et nationales. À partir d’un corpus de documentaires et reportages filmés diffusés à la télévision française entre 1958 et 1973 et de différents fonds d’archives, il analyse l’émergence d’une figure de femme en formation professionnelle féminine, celle d’une femme au foyer souhaitant (re)trouver un travail après une longue interruption pour raison familiale. Cette figure en (...) vient à éclipser toute autre image, notamment celle de la salariée en formation. Les documents filmés sont pris ici comme des révélateurs des manières de penser la formation et son public dans une période de transition historique, celle d’une remise en question des rôles socio-sexuels en particulier vis-à-vis du travail. (shrink)

Two studies were conducted to assess the psychometric properties of scores from the Norwegian adaptation of the Big Five Inventory-2. In Study 1, the BFI-2 was translated to Norwegian and the scores from a convenience sample demonstrated good psychometric properties. BFI-2 scores from subsamples correlated in expected ways with self- and other ratings of the Big Five, and with self-ratings of empathic concern and perspective taking. In Study 2, after some minor improvements in translation, the psychometric properties of BFI-2 scores (...) were assessed in a new sample. Results from random intercept EFA of scores supported the proposed model. The psychometric properties of two shorter versions of the inventory, the BFI-2-S and BFI-2-XS, were also examined. Overall, the results suggest that the Norwegian adaptation of the BFI-2 provide reliable and valid scores. (shrink)

Open peer commentary on the article “Ontology, Reality and Construction in Niklas Luhmann’s Theory” by Krzysztof C. Matuszek. Upshot: The question of whether contingency can be limited concerns the foundations of sociological systems theory as a theory of cognition. This commentary argues that while such limits may seem plausible and apparent at first, they would consequentially give rise to an ontological notion of society within society. Rather, the commentary proposes to understand the limits identified in the target article as social (...) functions structuring expectations in situations of double contingency. (shrink)

An adamant fan of Darwin, F.W. Headley attempts to argue the difficulties of believing in Socialism and Darwinism simultaneously and highlights issues which could prevent Socialism from being put into practice. Originally published in 1909, this study uses examples of communities in countries such as England and India to illustrate Headley’s key belief that societies only function well if they do not interfere with the fight for existence and natural selection. This title will be of interest to students of Philosophy, (...) Sociology and Anthropology. (shrink)

Laughter as superiority -- The elements of laughter -- The one necessary thing -- Objections to the normative thesis -- Comic virtues and vices -- The social virtues -- The charismatic virtues -- Machine law -- Machine scholarship -- Machine art and machine cities -- The battle of the norms -- Resistance to laughter -- The sociability thesis -- Conclusion.